Sudahkah Institusi Pendidikan Kita Mendidik Kercerdasan Spritual Siswa?
Oleh: Ahmad A. Qiso*
“Seseorang yang memiliki kecerdasan spritual yang tinggi tinggi, ia akan merasa rugi sendiri jika ia merugikan orang lain, ia akan merasa merusak jiwanya sendiri jika ia marah kepada orang lain, ia sadar bahwa jika ia merusak lingkungan berarti ia telah merusak keberlangsungan hidup nya sendiri”
Apakah Kecerdasan Spritual itu? Apakah Ia nama lain dari Religiusitas?
Isitilah “Spritual” menurut Zohar dan Marshall merupakan kecerdasan jiwa. Ia dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh.”.( Danah Zohar dan Ian Marshall, 2007). Sedangkan menurut Monty dan Fidelis, “Kecerdasan spiritual itu membuat kita mampu menyadari siapa kita sesungguhnya dan bagaimana kita memberi makna terhadap hidup kita dan seluruh dunia kita”. (Monty P. Satiadarma dab Fidelis E. Waruwu, 2003).
Adapun dalam pandangan Islam kecerdasan spritual atau dalam bahasa Toto Tasmara disebut “kecerdasan Ruhani” adalah “kemampuan seseorang untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati, dan beradaptasi”.( Toto Tasmara, 2001).
Dari beberapa pandangan tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan sprtitual adalah kemampuan memberi makna berdasarkan hati nuraninya kepada setiap aktivitas kehidupan kita baik yang merupakan hasil pikiran, tindakan, maupun reaksi kejiawaan yang berorientasi kepada lahirnya manusia yang utuh baik secara intelektual, emosional, maupun spritual.
Berangkat dari pengertian diatas apakah kecerdasan spritual sama dengan religisitas? Jawaban adalah tentu tidak.
Kecerdasan spritual lebih merupakan sesuatu yang tak terlihat secara kasat mata namun ia ada dalam hati, sedangkan religiusitas adalah sesuatu yang terlihat secara kasat mata, misalnya shalat, zakat, shodaqah, menolong orang, dan sebagainya.
Pendidikan kita saat ini dapat kita nilai sangat cakap dalam mendidik religiusitas siswa/santri namun masih minim dalam mendidik spritualistas siswa. hal ini bisa kita lihat misalnya, masih banyak orang yang ia shalat, zakat, bahkan haji, namun masih korupsi, merugikan orang lain, berbohong, mementingkan kepentingan pribadi & kelompoknya, dan lain-lain.
Urgensi Pengembangan Kecerdasan Spritual
Kecerdasan inetelektual dan kecerdasan emosional yang dipahami dan dikembangan selama ini belum cukup untuk menjelaskan secara menyeluruh kecerdasan yang kita miliki . Komputer misalnya, ia mampu mengetahui dan mengikuti aturan tanpa keliru. Hal tersebut menunjukkan bahwa komputer mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi. Selanjutnya hewan, ia mampu memahami dan menghadapi suatu keadaan yang terjadi di sekitrnya secara benar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hewan yang juga memiliki EQ yang tinggi. Namun, komputer dan hewan tidak mampu bertanya tentang alasan mengapa terdapat aturan dan keadaan yang terjadi seperti ini?. Selanjutnya apakah aturan dan keadaan tersebut bisa diperbaharui?.
Hal di atas menunjukkan bahwa komputer dan hewan memiliki jangkauan kecerdasan yang terbatas. Berbeda dengan SQ sebagaimana yang disampaikan oleh polopor pengembangan secara serius jenis ketiga kecerdasan ini yaitu Zohar dan Marshall, ia menyatakan bahwa: “SQ memungkinkan manuisa menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi. SQ menurutnya juga memberi kita rasa moral dan dapat digunakan untuk bergulat dengan ihwal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud__untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri kita dari kerendahan (Danah Zohar dan Ian Marshall, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa SQ memiliki “jangkauan yang tak terbatas”.
Pengembangan kecerdasan spritul menjadi sangat penting lagi ketika kita melihat bahwa saat ini lahir berbagai macam aliran yang tentu juga tidak lepas dari pengaruh arus moderenisasi, misalnya aliran kapitalisme, materialisme, sekuralisme, libralisme,dll. Hal ini berimplikasi kepada meningkatnya perilaku-perilaku amoral, misalnya: tidak pidana korupsi, penyalugunaan kekuasaan, kekerasan, konsumsi narkoba dan miras, seks bebas, dan sebagainya.
Kenyataan di atas juga tidak bisa lepas dari kegagalan lembaga pendidikan kita selama ini dalam mengembangkan kecerdasan spritual siswa-siswi nya. Pendidikan yang selama ini berjalan masih lebih berorientasi kepada pengembangan intelektualitas dan cendrung materialis, akan tetapi minim pengembangan kecerdasan emosional dan spritual. Akibatnya kita bisa melihat bahwa banyak siswa-siswi kita yang betindak dan bersikap tanpa didasari nilai-nilai spritualitas.
Apakah Hasil dari Suskesnya Pengembangan Kecerdasan Spritual siswa?
Menurut Husni Tanra sebagaimana dikutip Rus’an, ia memberi ilustrasi bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan spritual yang tinggi tinggi, ia akan merasa rugi sendiri jika ia merugikan orang lain, ia akan merasa merusak jiwanya sendiri jika ia marah kepada orang lain, ia sadar bahwa jika ia merusak lingkungan berarti ia telah merusak keberlangsungan hidup nya sendiri. Demikian juga ketika dia mengasingkan diri menjauh dari lingkungan sosialnya, berarti dia telah mengasingkan dirinya menjauh dari laut-an energi dan potensi yang menjadi pusat dirinya sendiri. (Rus’an, 2013, “Spritual Quotient (SQ): The Ultimate Intelligence”, Jurnal Lentera Pendidikan).
Cara Meningkatkan Kecerdasan Spritual
Zohar dan Marshall mengemukakan bahwa ada enam jalan menuju kecerdasan sprtitual lebih tinggi, yaitu (1) Jalan tugas; (2) Jalan pengasuhan; (3) Jalan pengetahuan; (4) Jalan perubahan pribadi; (5) Jalan Persaudaraan; (6) Jalan Kepemimpinan yang penuh pengabdian (Danah Zohar dan Ian Marshall, 2007).
Bagaimana cara menerapkannya di sekolah?, menurut Monty dan Fielis penerapan enam jalan menunju kecerdasan spritual yang dikemukakan Zohar dan Marshall adalah sebagai berikut (Monty P. Satiadarma dab Fidelis E. Waruwu,2003):
- Jalan tugas
Berikan kepada siswa/santri anda untuk melakukan kegiatannya sendiri dan latih mereka memecahkan masalahnya sendiri. Dalam setiap kegiatan belajar-mengajar, beri tahu manfaat mengapa anak perluh mempelajari hal tersebut sehingga dia sendiri memiliki motivasi untuk memiliki motivasi untuk memperdalam tersebut yang muncul dari dalam dirinya.
- Jalan pengasuhan
Guru perluh menjadi pengasuh yang dengan empati mengarahkan peserta didiknya memahami akar yang menimbulkan permasalahan, perasaan masing-masing dan melalui dialog mencari pemecahan yang terbaik atas masalah yang dihadapi.
- Jalan pengetahuan
Pendidik perluh mengembangkan realisasi peserta didik. Misalnya, kurikulum yang bisa melatih kepekaan peserta didik terhadap berbagai masalah aktual, dimana peserta didik diajak berefleksi tentang makna, bagaimana dia bisa ikut serta memecahkan masalah-masalah aktual tersebut.
- Jalan perubahan pribadi
Dalam setiap kegiatan belajar-mengajar seharusnya guru merangsang kreativitas peserta didiknya. Anak-anak itu sebenarnya memiliki daya imajinasi dan daya cipta yang sangat tinggi.
- Jalan persaudaraan
Guru harus mendorong setiap peserta didik untuk saling menghargai dan saling memahami pendapat dan perasaan masing-masing.
- Jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian
Gurulah yang menjadi model seorang pemimpin yang diamati oleh peserta didik. Pengalaman peserta didik bagaimana dilayani dan dipahami sungguh-sungguh oleh gurunya adalah pengalaman yang secara tidak langsung mengajarkan kepada peserta didik bagaimana layaknya perilaku seorang pemimpin.
*Alumi MA Al Ittifaqiah Indralaya 2011